Ketika
para pemimpin dunia berkumpul di Rio de Janeiro (Brazil) untuk membahas
suatu agenda yang disebut “Rio Post-20”. Dua puluh tahun yang lalu
(1992) di tempat yang sama, para penguasa dunia saat itu juga berkumpul
memikirkan langkah-langkah menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan
yang semakin serius.
Sayang,
banyak rekomendasi yang ditelurkan saat itu justru tidak diratifikasi
oleh negara pemboros sumber daya alam dan pembuat pencemaran terbesar di
dunia saat ini, yaitu..........Amerika Serikat!
Padahal
bumi ini memiliki mekanisme sendiri. Dia akan terus mengeluarkan
berkah tanpa henti, selama dikelola dengan syariah. Dan umat Islam
dalam sejarah telah membuktikan. Mereka juga tidak berhenti hanya dalam
bentuk pengaturan syariah, tetapi juga mengembangkan segala teknologi
untuk menjadikan bumi makin berkah.
Para
ilmuwan Islam terdahulu telah menjadikan ilmu bumi (geografi) sebagai
ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan
meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi). Juga ilmu yang
menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik). Yang hidup pun
mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.
Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama.
- Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.
-
Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi
saat gerhana bulan. Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.
- Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.
-
Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60
unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu.
- Penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.
Setelah
kejatuhan Romawi, terjadi migrasi dari geografi Eropa ke dunia Islam.
Alquran memerintahkan untuk melakukan penjelajahan demi penjelajahan (QS
Ar Ruum: 9). Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn
Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina
(980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229),
Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan
Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami,
(1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan
mereka.
Namun
tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan
kata-kata. Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi
yang dikenal sebelumnya. Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan
ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan
mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu.
Al-Biruni
menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan. Dialah yang pertama
kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang
di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator
(1512-1594).
Metode
al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur
jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi
yang berbeda. Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri
berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan
secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.
Seiring dengan al-Biruni, Suhrab
pada abad ke-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta
instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi
equi-rectangular atau cylindrical-equidistant.
Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.
Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi
membuat peta dunia yang detil atas permintaan raja Roger di Sicilia,
yang waktu itu dikuasai Islam. Peta al-Idrisi ini disebut di Barat
“Tabula Rogeriana”. Peta ini masih berorientasi ke Selatan.
Al-Hamawi menulis Kitab Mu'jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu.
Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak luput dari catatannya.
Sementara itu Ibnu Khaldun
menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang
berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.
Geografer Muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.
Geografi
di kalangan kaum Muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih
menegakkan jihad. Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi
pun mengendur. Kaum Muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan
mereka dalam peta geopolitik dunia. Akibatnya satu demi satu tanah air
mereka lepas atau sumber dayanya diperas. Maka keberkahan dari bumi pun
lenyap sudah.
Komentar